GetMnit.com, Jakarta – Setelah turun dari kursi Presiden, Joko Widodo perlahan menarik diri dari sorotan publik. Namun kabar kesehatannya justru menarik perhatian. Mantan presiden RI ke-7 ini dilaporkan tengah mengidap dua penyakit yang tidak ringan: autoimun dan hiperkortisolisme (sindrom Cushing).
Bagi saya, kabar ini bukan hanya tentang kesehatan seorang tokoh, tapi juga pengingat keras: bahwa tekanan psikis yang terus dipendam bisa menggerogoti tubuh pelan-pelan—dan dalam kasus Jokowi, mungkin dimulai dari stres kronis akibat tekanan politik dan tuduhan publik, termasuk polemik soal ijazah palsu yang tak pernah benar-benar reda.
Autoimun dan Hiperkortisolisme: Ketika Tubuh Menyerang Diri Sendiri
Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit autoimun termasuk dalam kelompok penyakit tidak menular kronis yang terus meningkat kasusnya secara global. WHO mencatat bahwa lebih dari 300 juta orang di dunia mengidap berbagai bentuk autoimun, seperti lupus, rheumatoid arthritis, dan tiroiditis autoimun.
Sementara itu, hiperkortisolisme, atau sindrom Cushing, adalah kondisi yang terjadi akibat produksi hormon kortisol berlebihan oleh tubuh, yang sering dipicu oleh stres berkepanjangan, tumor adrenal, atau penggunaan obat kortikosteroid jangka panjang.

Mengutip Kementerian Kesehatan RI, stres berat yang berlangsung dalam jangka panjang bisa menyebabkan ketidakseimbangan hormon, memicu peradangan, hingga memperburuk kondisi autoimun. Dalam artikel resmi mereka, dijelaskan:
“Stres kronis dapat memperburuk penyakit autoimun karena sistem imun menjadi tidak stabil. Pada sebagian orang, stres berkepanjangan bisa menjadi pemicu awal munculnya gejala autoimun.”
– Kemenkes RI (akses Mei 2025)
“Kronis, Tak Terlihat, Tapi Sangat Nyata”: Kata Psikolog dan Dokter
Menurut psikolog klinis dari Jakarta, Dr. Laila Nurfadhilah, M.Psi., yang banyak menangani pasien dengan gangguan psikosomatis akibat stres berat. Ia menjelaskan:
“Masyarakat sering menganggap stres hanya soal pikiran. Padahal, stres yang dibiarkan kronis bisa membuat sistem imun kacau. Banyak pasien kami mengalami nyeri otot, lelah kronis, bahkan kerontokan rambut, sebelum akhirnya terdiagnosis autoimun. Dan ini sangat sering terjadi pada orang yang punya beban publik atau trauma sosial.”
Sementara itu, dr. Ade Rizkyansyah, SpPD-KAI, seorang ahli imunologi klinis dari RSCM menambahkan:
“Hiperkortisolisme itu berbahaya karena diam-diam menghancurkan sistem tubuh. Pasien bisa tampak normal dari luar, tapi tulangnya keropos, otaknya cepat lelah, tekanan darah tinggi. Dan stres adalah pemicu hormonal yang sangat kuat. Ini bukan mitos, ini biologis.”
Dari Istana ke Ruang Sunyi: Beban Tak Terlihat Seorang Mantan Presiden
Apakah yang dialami Jokowi ini bisa disebut sebagai “karma”? Saya rasa tidak sepatutnya kita memberi label sekejam itu. Tapi kita bisa melihat ini sebagai refleksi sosial: bahwa beban psikologis akibat tekanan publik yang berlebihan bisa berdampak nyata terhadap kesehatan siapa pun, termasuk seorang kepala negara.
BACA JUGA: Terbongkar! Pabrik Skincare Ilegal di Bekasi Gunakan Tepung Tapioka Sebagai Bahan Baku
Saat isu ijazah palsu mencuat dan viral, tekanan bukan hanya datang dari lawan politik. Media sosial, meme, dan narasi publik yang masif menciptakan atmosfer yang sulit ditanggung seorang diri. Bahkan jika seseorang menampik tuduhan itu secara formal, beban batin tetap membekas.
Tubuh yang Lelah Adalah Jiwa yang Menangis Diam-Diam
Kini Jokowi memilih hidup yang lebih sunyi. Tapi saya percaya, ini bukan akhir. Ini bisa jadi masa untuk sembuh—dari luka batin, dari tekanan, dan dari tubuh yang kelelahan.
Dan untuk kita semua, ini pelajaran: bahwa stres bukan hal remeh. Ia bisa menjadi pemicu penyakit serius. Ia bisa menghancurkan orang perlahan—meski dari luar tampak baik-baik saja.
Maka dari itu, mari kita mulai belajar mengedepankan empati, bahkan terhadap orang yang tidak kita setujui secara politik. Karena tidak ada kemenangan yang lahir dari menyakiti orang lain, apalagi secara psikis. (RD)