GetMenit.com, Jakarta – Keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengalihkan empat pulau dari wilayah Aceh ke Sumatera Utara tengah menuai badai kritik. Banyak pihak menilai, langkah Tito bukan sekadar administrasi birokratis, melainkan akrobat politik yang sarat kepentingan dinasti.
Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—yang sejak lama berada dalam wilayah administratif dan kultural Aceh—tiba-tiba ditarik masuk ke dalam Provinsi Sumut melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138/2025. Keputusan ini mengejutkan, menyakitkan, dan lebih jauh lagi, mencederai harga diri rakyat Aceh.
“Ini bukan hanya soal wilayah, ini soal penghianatan,” tegas Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto. Ia menyebut, kebijakan ini tak lepas dari aroma balas jasa Tito kepada Presiden Jokowi, dengan memperkuat posisi politik Bobby Nasution Gubernur Sumut sekaligus menantu Jokowi.
“Jelas ini penguatan dinasti. Tito ingin menunjukkan loyalitas politiknya. Dengan mengorbankan Aceh,” tambahnya dengan nada geram. Langkah ini, menurut Hari, bisa menjadi bom waktu yang membelah kembali luka sejarah antara Aceh dan pusat.
Tidak hanya dianggap sebagai bentuk pengkhianatan, pengalihan wilayah ini menimbulkan kecurigaan adanya transaksi politik di balik meja. Pasalnya, keputusan ini terjadi di tengah kepemimpinan Bobby, yang belakangan santer disebut-sebut sedang mempersiapkan loncatan ke panggung politik nasional.
“Aceh seperti dipreteli. Tanpa suara. Tanpa dialog. Dan parahnya, keputusan itu datang dari pusat yang mestinya menjadi penjamin keadilan antar daerah,” jelas Hari lagi.
Kemarahan masyarakat Aceh pun mulai meluas. Gubernur Aceh bahkan memilih walk out dari forum pembahasan sebagai bentuk protes keras. Namun pemerintah pusat tampak dingin, seolah menganggap ini hanya riak kecil dalam urusan administratif.
BACA JUGA: Benarkah Jokowi Sakit karena Tekanan Isu Ijazah? Diduga Derita Autoimun dan Hormon Tak Stabil
Padahal, yang dipermainkan di sini adalah soal kedaulatan lokal, harga diri daerah, dan masa depan harmoni nasional. Jika pulau bisa dipindah semudah itu hanya karena kepentingan elite, lalu apa bedanya negara ini dengan dagangan?
“Apakah Tito sadar bahwa ia sedang mengoyak luka lama Aceh? Apakah satu tanda tangan sepadan dengan kehancuran kepercayaan publik?” ucap Hari.
Kebijakan Tito Karnavian ini, jika terus dipaksakan, bukan hanya menorehkan aib dalam sejarah tata pemerintahan, tetapi juga akan menjadi contoh telanjang bagaimana kekuasaan bisa membajak hukum dan wilayah demi balas jasa dan kepentingan pribadi.
Saat rakyat berteriak, Tito justru bergeming. Saat Aceh mempertanyakan haknya, Kemendagri justru mempercepat pemindahan. Apakah ini wajah demokrasi yang dijanjikan? Atau justru kemunduran ke era kekuasaan otoriter yang berkedok prosedur?
Rakyat Aceh tidak butuh simpati. Mereka butuh keadilan. Dan Tito, dengan segala kekuasaan yang ia pegang hari ini, tengah menodai itu semua. (*)