GetMenit.com, Tangerang — Di balik keindahan alam Wonogiri yang meneduhkan, terdapat sebuah cerita yang jarang dibicarakan secara terang-terangan, tapi akrab di telinga warga sekitar. Sebuah legenda yang tidak pernah mati, justru terus hidup dari bisik-bisik, larangan tak tertulis, dan ritual malam hari di tepi air yang tenang. Namanya: Nyai Waduk Gajah Mungkur.
Waduk Gajah Mungkur adalah salah satu proyek besar era Orde Baru. Dibangun pada akhir 1970-an, waduk ini bukan hanya menjadi sumber tenaga listrik dan pengairan bagi ribuan hektare sawah. Ia juga menenggelamkan 51 desa dan memaksa lebih dari 60 ribu jiwa direlokasi dari tanah kelahirannya.
Sejak saat itulah, air tenang Waduk Gajah Mungkur tak lagi hanya menyimpan muara sungai. Ia mulai menyimpan cerita.
Lahir dari Air, Tangis, dan Tumbal
Pembangunan waduk ini bukan tanpa pengorbanan. Banyak warga yang menolak pindah karena harus meninggalkan rumah, sawah, bahkan kuburan nenek moyang mereka. Mereka percaya, arwah para leluhur yang tidak dipindahkan dengan benar akan menjadi “marah”.
Mereka juga percaya, bahwa tempat yang dulunya penuh kehidupan itu—begitu ditenggelamkan—tidak sepenuhnya kosong. Ada sesuatu yang tinggal. Atau lebih tepatnya: menunggu.
“Warga sini percaya bahwa setiap air besar punya penunggunya. Tapi di sini beda. Sosoknya nyata. Kadang muncul sore hari, pakai baju merah, rambut panjang,” ungkap Pak Rahmat (bukan nama sebenarnya), warga Desa Sendang yang jaraknya hanya 3 km dari waduk.
Sosok itu disebut warga sebagai “Nyai Waduk”. Ada yang bilang dia adalah penjelmaan perempuan korban relokasi yang tak rela tanah kelahirannya ditenggelamkan. Ada pula yang percaya dia adalah roh kuno penjaga alam yang terganggu oleh pembangunan besar-besaran. Siapapun dia, satu hal pasti: dia minta dihormati.

Penampakan di Atas Air dan Nelayan yang Menghilang

Cerita soal penampakan sudah jadi bagian dari keseharian, terutama bagi para pemancing dan nelayan. Tak sedikit yang mengaku pernah melihat perempuan misterius berjalan di atas permukaan air saat senja menjelang.
“Ada suara perempuan tertawa, padahal kita di tengah waduk, mana ada orang,” ujar Suryadi, seorang pemancing yang pernah hampir jatuh dari perahunya karena merasa ditarik sesuatu dari dalam air.
Paling menyeramkan adalah kisah tentang seorang nelayan muda yang mengumpat-umpat air karena tidak mendapat ikan. Malam itu juga, ia menghilang. Perahunya ditemukan keesokan harinya, terapung kosong, sementara tubuhnya tidak pernah ditemukan. Warga percaya: air tidak suka dihina.
Kesurupan di Tepi Waduk dan Sosok “Ratu Air”

Seorang pengelola wisata air di kawasan waduk pernah menyaksikan sendiri kejadian aneh. Seorang pengunjung perempuan muda, yang tertawa keras dan berkata kasar di tepi air, tiba-tiba jatuh dan meracau. Bibirnya komat-kamit menyebut kalimat yang tak dimengerti, lalu suaranya berubah berat:
“Kalian menginjak tempatku dengan mulut kotor. Aku Ratu Air Waduk ini. Pergi!”
Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu ketakutan. Butuh tiga orang untuk menenangkannya. Setelah sadar, si pengunjung tak ingat apa-apa.
Sejak kejadian itu, pihak pengelola menambah papan peringatan—bukan hanya soal keselamatan berenang atau batas area, tapi juga larangan berkata kasar di sekitar waduk.
Ritual di Malam Jumat Kliwon dan 1 Suro
Ada kebiasaan yang tak pernah diiklankan, tapi tetap dilakukan diam-diam oleh warga sekitar. Pada malam-malam tertentu, seperti Jumat Kliwon atau malam 1 Suro, beberapa sesajen kecil akan muncul di pinggir waduk: bunga tujuh rupa, air kelapa, dan kadang telur ayam kampung.
“Ini bukan musyrik. Ini adat,” kata seorang warga tua. “Kita cuma numpang hidup di tanah ini. Harus tahu diri.”
Mereka menyebutnya “mendinginkan suasana”, semacam permohonan agar tak ada “pengambilan nyawa” secara gaib, terutama di musim penghujan saat air pasang dan arus waduk makin deras.
Kisah tentang penunggu air bukanlah hal baru di Indonesia. Kita punya cerita Rawa Pening, Banyu Biru, Sendang Sono, dan banyak lagi. Hampir semuanya menyebut perempuan sebagai sosok penjaga. Mungkin karena air—seperti perempuan—menyimpan rahasia, kesuburan, tapi juga amarah yang dahsyat jika dilanggar.
Dan Waduk Gajah Mungkur, dengan segala sejarah luka, pembangunan paksa, hingga tumbal nyawa, menjadi rumah sempurna bagi legenda seperti Nyai Waduk.
Apakah dia nyata? Entahlah. Yang pasti, setiap suara yang hilang di atas air, setiap kesurupan mendadak, dan setiap perahu kosong yang kembali tanpa awak, akan selalu menyisakan tanya: apa sebenarnya yang tinggal di dasar waduk ini?
Antara Mitos dan Peringatan
Legenda seperti Nyai Waduk Gajah Mungkur bukan sekadar cerita lama yang diwariskan. Ia adalah bentuk peringatan tak langsung: bahwa tempat yang kita tinggali memiliki “ingatan” sendiri. Ia bisa saja menyimpan rasa kecewa, kemarahan, atau bahkan dendam, atas apa yang pernah dilakukan manusia terhadap alam.
Dan mungkin… hanya dengan menghormatinya, kita bisa tetap tinggal dengan aman di atas permukaannya. (Naz)