GetMenit.com, Jakarta — Kebijakan PPATK soal pemblokiran rekening pasif kembali membuat geger publik. Sosok yang berada di balik kebijakan tersebut adalah Ketua PPATK, Ivan Yustiavandana, yang kini ramai dibicarakan, bukan hanya karena tindakannya, tetapi juga karena profil dan kekayaan pribadinya yang tak kalah mencolok.

Dalam keterangannya kepada media, Ivan menyatakan pemblokiran dilakukan sebagai upaya perlindungan publik dari penyalahgunaan rekening yang tidak aktif (dormant). Ia menegaskan bahwa negara harus hadir melindungi warganya dari ancaman kejahatan digital dan dampak sosial dari judi online.
“Kami tidak akan membiarkan dampak sosial dari judi online ini terus terjadi, termasuk bunuh diri, jual diri, usaha bangkrut, hingga perceraian,” ujar Ivan, Selasa (29/7/2025), kepada Media.
Namun pernyataan itu malah memantik komentar pedas dari publik. Banyak warganet mempertanyakan, mengapa negara begitu cepat ‘melindungi’ rekening pasif warga, namun diam saat kekayaan pejabat publik justru melonjak tanpa penjelasan rinci?
Profil Singkat Ivan Yustiavandana
Ivan menjabat sebagai Ketua PPATK sejak Oktober 2021, menggantikan Dian Ediana Rae. Kariernya dimulai sejak 2003 di PPATK dan terus menanjak hingga dipercaya memimpin lembaga tersebut. Latar belakang pendidikannya kuat: lulusan hukum Universitas Jember, S-2 di Washington College of Law, dan program doktor di UGM.
Selain itu, Ivan dikenal aktif di dunia akademis dan forum internasional. Ia terlibat dalam penyusunan berbagai dokumen strategis seperti National Risk Assessment dan Indeks Persepsi Publik Pencegahan TPPU.
Namun sayangnya, segudang prestasi akademis itu kini dibayangi oleh sorotan tajam terhadap kekayaannya.
Kebijakan pemblokiran rekening yang tak aktif selama tiga bulan menimbulkan keresahan. Banyak masyarakat merasa rekening mereka ‘disita diam-diam’ padahal tidak melakukan pelanggaran hukum.
Di sisi lain, harta kekayaan Ivan yang mencapai Rp9,38 miliar berdasarkan LHKPN 2024, menjadi bahan perbincangan. Terlebih, terjadi lonjakan drastis dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp4,53 miliar.
Publik mempertanyakan:
- Bagaimana aset pribadi Kepala PPATK bisa naik hampir dua kali lipat dalam waktu singkat?
- Mengapa rakyat kecil yang rekeningnya tak aktif justru yang diblokir, sedangkan laporan kekayaan pejabat tidak diperiksa lebih lanjut?
Warganet pun ramai-ramai melontarkan kritik. “PPATK seharusnya menjaga stabilitas keuangan, bukan menciptakan ketakutan,” tulis akun @netcitizen. Beberapa menyebut kebijakan ini terlalu terburu-buru dan justru menyerempet hak kepemilikan masyarakat yang dijamin undang-undang.

Publik juga merasa bahwa lembaga sekelas PPATK seharusnya menempatkan transparansi dan akuntabilitas sebagai prioritas—termasuk untuk para pejabatnya sendiri. (*)