“TARI LELEHUR: WARISAN YANG MENYATUKAN DUNIA”
Isinya adalah catatan ritual. Sebuah tarian gaib yang dilakukan oleh para wanita keluarga Atmaja setiap menjelang purnama ke-13 — sebuah perhitungan berdasarkan penanggalan Jawa kuno — di mana mereka harus menari bersama arwah para leluhur.
Konon, lewat tarian itu, kekuatan roh leluhur akan merasuki tubuh penari baru dan mentransfer seluruh bakat, gerak, dan daya tarik magis yang mereka miliki semasa hidup.
Syaratnya hanya satu: “Jangan berhenti menari sampai mereka selesai.”
Pendopo Berdarah dan Malam Ritual
Demi nama ibu, demi nama keluarga Atmaja, aku memutuskan untuk mencobanya. Aku tak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan. Reputasi keluargaku merosot sejak kematian ibu. Tidak ada lagi tawaran pentas. Tidak ada murid. Tidak ada hormat.
Pendopo tua keluarga dibersihkan. Aku menyalakan kemenyan, menabur bunga tujuh rupa, dan memutar rekaman gamelan kuno dari piringan hitam peninggalan nenek. Bulan purnama ke-13 menggantung pucat di langit.
Dan aku menari…
Kaku. Canggung. Salah langkah.
Namun tiba-tiba… hawa dingin menyusup ke tubuhku. Angin berputar dalam pendopo yang seharusnya tertutup. Lampu minyak bergoyang liar. Lalu mereka datang.
Satu per satu sosok berjubah kebaya kuning emas muncul dari balik bayang-bayang. Tidak berjalan… tapi melayang.
Leluhurku.
Wajah mereka pucat. Ada yang tak punya mata. Ada yang pipinya robek. Namun semuanya tersenyum… senyum getir yang seakan berkata, “Akhirnya kau siap.”
Mereka mulai menari.
Tanpa sadar, tubuhku bergerak. Langkahku mengikuti mereka. Tubuhku lentur. Nafasku mengikuti kendang. Kakiku membentuk pola yang tak pernah kupelajari. Tanganku melambai seperti daun tertiup angin.

Mereka menari bersamaku. Mengelilingiku. Membimbingku. Kadang menjerit. Kadang tertawa.
Tapi jam bergulir, malam makin pekat… dan aku mulai kelelahan.
Aku ingin berhenti. Tapi mereka tidak.
Ketika aku mencoba berhenti, mereka merapat. Menarik tanganku. Membuka mulut mereka yang membusuk dan bergumam:
“Jangan berhenti… sampai kami selesai.”