GetMenit.com – Lebih dari tujuh dekade berlalu sejak Perang Dunia II usai, namun luka itu belum sembuh. Ribuan perempuan Indonesia masih menyimpan trauma akibat dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang, atau yang dikenal dengan istilah jugun ianfu.
Di balik catatan perang yang penuh angka dan strategi militer, ada kisah pilu yang jarang tersorot: remaja-remaja putri yang direnggut dari keluarganya, dipaksa mengabdi di ianjo—rumah bordil militer Jepang.
Ronasih: Diculik Saat Usia 14 Tahun
Ronasih, penyintas asal Sukabumi, Jawa Barat, tak pernah melupakan hari ketika hidupnya direnggut paksa. Saat itu, usianya baru 14 tahun. Pagi itu ia bersiap berangkat ke sekolah, namun langkah kecilnya terhenti ketika rombongan tentara Jepang menghadang.
Tanpa perlawanan berarti, Ronasih dibawa pergi. Ia disekap di sebuah bangunan dekat desanya. Di tempat itu, ia dipaksa melayani keinginan tentara asing. Hari-hari yang seharusnya ia isi dengan belajar, berubah menjadi malam-malam penuh ketakutan.
“Setiap kali pintu terbuka, dada saya bergetar. Saya tidak tahu siapa yang akan masuk, dan apa yang akan mereka lakukan,” ujar Ronasih dalam sebuah wawancara dengan peneliti sejarah.
Trauma itu membekas dalam, menjadikan Ronasih salah satu saksi hidup yang terus membawa luka, bahkan setelah puluhan tahun merdeka.
Umi Kulsum: Direnggut di Depan Orang Tua
Tak jauh berbeda, nasib kelam juga dialami Umi Kulsum. Berbeda dengan Ronasih, ia diculik di depan kedua orang tuanya. Jeritan keluarga tak mampu menghentikan tentara bersenjata.
Umi dibawa ke sebuah ianjo, sebutan rumah bordil militer Jepang. Di tempat itu, ia dipaksa menyerahkan tubuhnya kepada para serdadu. Penolakan hanya berujung pada tamparan, tendangan, bahkan siksaan fisik yang lebih kejam.
Bagi Umi, peristiwa itu bukan sekadar kehilangan masa remaja. Ia kehilangan harga diri, masa depan, bahkan kesempatan untuk hidup normal. “Saya tidak lagi punya pilihan, hanya bisa pasrah,” katanya dalam sebuah kesaksian.
Luka Kolektif yang Terlupakan
Kisah Ronasih dan Umi hanyalah dua dari ribuan. Sejarawan memperkirakan puluhan ribu perempuan dari Asia—termasuk Indonesia, Korea, Filipina, dan Tiongkok—dijadikan jugun ianfu. Di Indonesia, sebagian besar korban berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Namun berbeda dengan Korea Selatan atau Filipina, di mana para penyintas berani bersuara dan menggugat Jepang, banyak perempuan Indonesia memilih diam. Stigma sosial, rasa malu, dan trauma mendalam membuat mereka enggan membuka suara. Tak jarang, keluarga pun menolak mengakui pengalaman pahit itu, karena dianggap aib.
Ianjo: Neraka di Balik Perang
Dokumen militer Jepang menyebut ianjo sebagai fasilitas resmi untuk “menghibur” tentara. Namun di balik istilah itu, tersembunyi praktik kekerasan seksual sistematis.
Perempuan ditempatkan di barak-barak sempit, diawasi ketat, dan harus melayani puluhan tentara dalam sehari. Kondisi kesehatan mereka terabaikan. Banyak yang jatuh sakit, terinfeksi penyakit menular, bahkan meninggal tanpa sempat kembali ke keluarganya.
“Rumah bordil militer itu lebih mirip penjara. Tidak ada kebebasan, tidak ada hak untuk menolak,” tulis seorang peneliti dalam laporan arsip kolonial.
Perjuangan Meminta Keadilan
Seiring berjalannya waktu, sebagian penyintas mencoba bersuara. Pada 1990-an, sejumlah perempuan Indonesia bergabung dalam forum internasional, menuntut Jepang mengakui dan meminta maaf. Namun hingga kini, permintaan itu belum sepenuhnya dikabulkan.
Pemerintah Jepang memang sempat menyampaikan “penyesalan mendalam” dan membentuk Asian Women’s Fund pada 1995 untuk memberikan kompensasi. Namun banyak penyintas menolak dana itu, karena dianggap bukan tanggung jawab resmi negara, melainkan donasi pribadi.
Di Indonesia, suara penyintas justru semakin sunyi. Banyak di antara mereka telah menua, meninggal tanpa sempat merasakan keadilan.
Melawan Lupa

Kisah Ronasih dan Umi adalah potongan kecil dari sejarah besar yang kerap dipinggirkan. Bagi para penyintas, menceritakan kembali pengalaman itu bukan hal mudah. Namun, mereka berharap generasi muda tahu bahwa kemerdekaan yang dirayakan hari ini dibayar dengan begitu banyak penderitaan, termasuk dari tubuh-tubuh perempuan yang dijadikan alat perang.
Sejarawan menekankan, penting bagi bangsa ini untuk mengingat dan mengakui kisah kelam tersebut. “Jika kita lupa, maka sejarah bisa terulang. Perempuan akan selalu jadi korban pertama dalam setiap konflik bersenjata,” ujar seorang peneliti gender dan sejarah di Jakarta.
Kini, hanya sedikit penyintas yang masih hidup. Mereka menua dengan membawa luka batin yang tak kunjung sembuh. Suara mereka menjadi pengingat bahwa di balik kemenangan perang, selalu ada mereka yang kalah dan kalah selamanya.
(Redaksi)