GetMenit.com – Indonesia memiliki banyak tradisi kuno yang kini jarang diketahui generasi muda. Salah satunya adalah tradisi gowok, sebuah praktik budaya Jawa yang dulunya dianggap sakral namun kini dipandang kontroversial. Tradisi ini memadukan pendidikan, spiritualitas, hingga seksualitas, dan dipercaya sebagai bekal penting bagi seorang laki-laki sebelum memasuki pernikahan.
Awal Mula Tradisi Gowok
Pada masa lalu, terutama di kalangan bangsawan Jawa kuno, terdapat kekhawatiran ketika remaja laki-laki ingin menikah namun belum siap secara mental maupun biologis. Dari situlah muncul profesi unik bernama gowok. Seorang perempuan dewasa dipilih untuk membimbing para remaja laki-laki agar memahami kehidupan rumah tangga, mulai dari tata krama, urusan dapur, hingga seni bercinta yang menghormati perempuan.
Dalam masyarakat Jawa kuno, gowok bukanlah sekadar guru kehidupan, tetapi dianggap sebagai sosok pembimbing spiritual dan jasmani. Ia mendidik muridnya agar siap lahir batin ketika memasuki pernikahan.
Peran dan Tugas Seorang Gowok
Tugas seorang gowok bukanlah hal sembarangan. Ia mengajarkan:
- Etika dan sopan santun dalam memperlakukan istri.
- Pengelolaan rumah tangga, termasuk urusan dapur.
- Seni bercinta yang berlandaskan penghormatan terhadap tubuh perempuan.
Tradisi ini jelas berbeda dengan prostitusi. Gowok dipandang sebagai bagian dari pendidikan menjelang pernikahan, sebuah perpaduan antara spiritualitas dan pembelajaran jasmani yang menyatu dalam budaya Jawa.

Status Sosial dan Penghormatan
Gowok biasanya mendapat bayaran dari keluarga sang murid, bisa berupa uang atau kebutuhan pokok. Praktik ini dilakukan secara terbuka dan dianggap terhormat, bahkan dalam lingkungan keraton. Pemilihan seorang gowok dilakukan dengan hati-hati karena dianggap menyentuh sisi batin serta laku hidup seorang laki-laki Jawa.
Asal-Usul Istilah “Gowok”
Dalam novel Nyai Gowok karya Budi Sardjono, yang ditulis berdasarkan riset budaya Jawa, diceritakan bahwa istilah ini diyakini berasal dari nama seorang perempuan Tionghoa: Goo Wook Niang. Ia datang ke Jawa pada abad ke-15 bersama Laksamana Cheng Ho dan dipercaya menjadi pelopor tradisi ini. Nama “Goo Wook” kemudian berkembang menjadi sebutan “gowok”.
Dari Sakral Menjadi Tabu
Seiring perubahan zaman, terutama pada era 1960-an, tradisi gowok mulai ditinggalkan. Masuknya nilai-nilai baru serta pengaruh agama membuat pandangan masyarakat berubah. Apa yang dulu dianggap sakral kini mulai dipandang tabu, bahkan aib. Tradisi ini pun perlahan hilang, hanya tersisa cerita yang beredar diam-diam di kalangan orang tua.
Kesalahpahaman di Era Modern
Saat ini, banyak orang yang keliru menyamakan gowok dengan prostitusi, atau bahkan mengaitkannya dengan orientasi seksual tertentu. Padahal, dalam konteks Jawa kuno, hubungan gowok lebih kepada bimbingan menuju kedewasaan. Perspektif modern memang tak selalu cocok untuk menilai masa lalu, sehingga tradisi ini kerap disalahpahami.
Gowok sebagai Cermin Budaya Jawa
Meski sudah tidak lagi relevan dalam praktik sehari-hari, gowok tetap menjadi cermin bagaimana orang Jawa memahami keseimbangan antara tubuh dan jiwa. Tradisi ini menunjukkan bahwa pendidikan tentang pernikahan, seksualitas, dan peran gender dulu dianggap penting dan diajarkan secara terbuka.
Lebih dari sekadar kisah lama, gowok memberi pelajaran berharga tentang bagaimana budaya dapat membentuk cara pandang kita terhadap hubungan, peran dalam keluarga, dan pendidikan seksual.
(Naz)
