GetMenit.com, Banten – Perusahaan milik Pemprov Banten, PT Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida) Banten, dilaporkan mengalami kerugian mencapai Rp957 juta. Ironisnya, kerugian besar ini terjadi setelah perusahaan tersebut berjalan selama hampir satu dekade sejak berdiri pada 24 September 2014.
Penurunan kinerja operasional bukan satu-satunya penyebab. Indikasi kuat adanya kepentingan pribadi dan salah tata kelola oleh direksi membuat kerugian ini menjadi sorotan publik dan media.
Padahal sebelumnya, Jamkrida sempat masuk dalam tiga besar BUMD penyumbang deviden terbesar untuk Banten. Kini, berbagai catatan hitam membayangi performa dan kredibilitas perusahaan ini.
Direksi Naikkan Gaji Sendiri Tanpa Izin Pemprov
Seorang sumber terpercaya dari internal perusahaan mengungkapkan, direksi PT Jamkrida menaikkan gaji sendiri tanpa persetujuan resmi dari Pemprov Banten. Kenaikan ini ditemukan dalam audit Inspektorat Banten pada September 2024.
Penetapan remunerasi ini diduga dilakukan secara sepihak tanpa melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), serta tidak sesuai dengan SK No 001/SK/DIR/1/2024 tentang remunerasi pengurus.
Lebih parah, direksi baru disebut meminta pencairan gaji sebelum mengikuti Fit and Proper Test dari OJK. Pada 23 Oktober 2024, mereka juga mencairkan rapel gaji dan honorarium sebesar 15 persen meskipun belum mendapat legitimasi penuh dari regulator.
BACA JUGA: Tangerang Jadi Raja Kendaraan Listrik di Banten, Andra Soni Dorong SPKLU Masuk ke Perumahan
Tunjangan Cuti Diberikan Tanpa Hak, Langgar Aturan Internal
Tunjangan cuti tahunan senilai besar dicairkan pada April 2025, padahal direksi baru efektif bekerja sejak 5 September 2024. Hal ini jelas melanggar SK Direksi No 001A/SK/DIR/I/2017 yang menyatakan bahwa tunjangan hanya diberikan pada pegawai dengan masa kerja minimal satu tahun.
Dana Perusahaan Diduga Dipakai untuk Kepentingan Pribadi
Direktur Utama PT Jamkrida Banten, Indriyanto Agus Wibowo, dilaporkan mengajukan talangan pengobatan pribadi sebesar Rp240 juta setelah dua kali serangan jantung. Dana tersebut dicairkan berdasarkan SK yang diduga dibuat mundur tanggal (backdate) setelah pencairan terjadi.
Kebijakan Salah Langkah, Pendapatan Anjlok 43 Persen
Kebijakan direksi yang menghentikan penjaminan di luar Provinsi Banten serta membatasi maksimal nilai penjaminan menjadi Rp500 juta, berimbas buruk pada pendapatan. Tercatat pendapatan penjaminan anjlok drastis dari Rp390,5 miliar (2023) menjadi hanya Rp221,2 miliar (2024). Proses persetujuan direksi kini melambat, Service Level Agreement (SLA) yang biasanya selesai dalam tiga hari kini molor hingga sepuluh hari kerja, memperparah situasi.
Cadangan Klaim dan Pengakuan Kerugian Disoal
Nyaris Rp1 miliar kerugian dicatat sebagai dampak dari cadangan klaim yang diambil berdasarkan rekomendasi OJK. Namun sumber menilai ini bersifat asumtif dan seharusnya bisa diperdebatkan secara akuntansi.
Rekrutmen Pegawai Diduga Cacat Prosedur
Salah satu kasus pelanggaran lainnya adalah rekrutmen jabatan penting seperti Corporate Secretary (Corsec) yang dilakukan secara instan. Pada Mei 2024, lamaran atas nama Dwiyoga Subarkah langsung disetujui dan diterbitkan offering letter dalam waktu satu hari, tanpa mengikuti SOP yang berlaku.
Pengangkatan Dwiyoga dilakukan tanpa tahapan yang diatur dalam SOP No 003/POS/OPS-SDMU/IV/2024 dan SOP No 004/POS/OPS-SDMU/V/2024, jelas menyalahi sistem rekrutmen yang seharusnya ketat dan objektif.
Jamkrida Banten di Ujung Jurang Krisis Integritas
Dari deretan kasus di atas, terlihat bahwa Jamkrida Banten kini menghadapi krisis tata kelola dan integritas. Keputusan sepihak, pelanggaran aturan, hingga kebijakan finansial sembrono menunjukkan lemahnya akuntabilitas manajemen.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, citra BUMD yang sebelumnya jadi andalan pendapatan daerah bisa runtuh. Yang dipertaruhkan bukan hanya angka, tetapi juga kepercayaan publik dan reputasi pemerintahan daerah. (*)